Kisah dari Kampung Kosong di Mentawai

Oleh Rudrik Syaputra

Setelah menemukan sejumlah mayat, Hendri bersama relawan lainnya bersiap memasukkan mayat tersebut ke kantong yang telah dipersiapkan.

Mabesik… mabesik, rakekku mabesik (sakit… sakit, kakiku sakit),” jeritan seorang bocah berumur enam tahun yang masih selamat dari gulungan gelombang tsunami di Dusun Munte, Desa Betumonga Pagai Utara, Mentawai, Sumbar.

Jeritan itu begitu jelas terdengar oleh Hendri Saleleubaja (relawan) bersama teman-teman lainnya dari arah perbukitan dusun Munte yang sudah rata dengan tanah itu.

Bocah berbadan kurus itu mengeluh kesakitan. Dia datang menghampiri Hendri saat menelusuri (upaya evakuasi) di perkampungan yang sudah tak berpenghuni itu.

“Bocah kecil itu datang mendekati kami sambil merintih kesakitan sembari meringis,” tutur Hendri (21).

Hendri, satu dari 17 pemuda yang bergabung dengan tim relawan kemanusiaan yang pertama, Rabu (27/10/2010), menelusuri dusun-dusun di Mentawai yang dihantam gelombang tsunami.

“Saya tak ingat lagi nama bocah kecil yang diselamatkan itu, tapi setelah ditemukan, langsung dievakuasi ke puskesmas di Sikakap,” tutur pemuda berperawakan hitam kekar itu.

Pemuda yang baru pertama kali menjadi relawan kemanusian itu, beserta sejumlah temannya, mendapat tugas untuk mencari dan mengumpulkan mayat. Jasad korban tewas yang ditemukan akan dimasukkan ke dalam kantong mayat oleh tim SAR dan langsung dikubur massal di suatu tempat di Dusun Munte.

“Kami menemukan banyak korban meninggal yang tertumpuk di reruntuhan rumah dan pohon tumbang yang terseret tsunami sampai ke kaki bukit,” katanya.

Kesulitan yang dialami pemuda itu beserta relawan lainnya adalah ketika mayat-mayat terhimpit pohon besar, peralatan yang dimiliki sangat terbatas, hanya mengandalkan satu gergaji mesin kecil, selebihnya menggunakan parang.

Setelah menemukan sejumlah mayat, Hendri bersama relawan lainnya bersiap memasukkan mayat tersebut ke kantong yang telah dipersiapkan. Jumlah jasad korban yang ditemukan banyak, dan kantong mayat hanya 30 unit sehingga tak mencukupi.

Mengatasi hal itu, katanya, tim terpaksa memotong plastik tenda yang seharusnya digunakan untuk perlindungan pengungsi. Bahkan, sebagian mayat lainnya ada yang ditutupi karung plastik saja.

Tenaga honorer di Kantor Camat Pagai Utara itu tak patah arang dan tetap melakukan apa saja yang dapat dilakukan dalam melakukan evakuasi bersama tim.

Bertolak dari Sikakap, Hendri dan temannya hanya berbekal nasi bungkus untuk bisa bertahan selama melakukan evakuasi. “Di tengah bau amis, mayat yang mulai membusuk, dan tumpukan puing-puing kayu, di sanalah kami menikmati makanan sekadar pemulih tenaga untuk melanjutkan evakuasi korban,” katanya.

Pencarian dan evakuasi dilakukan hingga pukul 16.00, sementara tim Basarnas, PMI, dan Polsek Sikakap mendirikan tenda pengungsian bagi korban selamat di daerah itu.

Hendri menuturkan, ketika gempa berkekuatan 7,2 skala Richter mengguncang Mentawai, Senin, dia tengah berada di Kota Padang. Pada Selasa, dia mendapat telepon dari temannya, Melki Sapolenggo (anggota DPRD Mentawai) bahwa sebagian besar desa dan dusun yang berada di pesisir barat pantai Pagai Utara dan Pagai Selatan serta Pulau Sikakap diterjang tsunami.

Hendri baru tiba di Pulau Sikakap pada Rabu (27/10/2010) pagi pukul 07.00 WIB setelah pada Selasa (26/10/2010) pukul 17.00 WIB menumpangi kapal Ambu-ambu ASDP.

Setibanya di Pelabuhan Teluk Sikakap, Hendri berinisiatif mencari orang-orang untuk menjadi relawan menelusuri dusun-dusun yang terkena hantaman tsunami.

Pemuda itu berhasil mengumpulkan 17 warga sekitar, termasuk dirinya, yang bersedia menjadi relawan. Ia menyebutkan, 17 orang itu adalah Hendri Saleleubaja (21), B Purba (60), Nalfri (38), Nofrizon (25), Syamsir (30), Fardi (21), dan Hamzah (24).

Berikutnya ada Rodi Rohmat (32), Ali Akbar (23), Bob Armando (23), Indo Pilman (25), Mukhlis, Wenpi (28), Masril (24), Eri Comat (27), Bakmen (32), dan Wan Catur (40). Mereka itulah relawan pertama yang sampai ke lokasi bencana bersama tim dari Basarnas Padang dan PMI Sumbar.

Dengan menggunakan tiga perahu long boat bermesin 15 PK, 17 warga Sikakap Tengah itu berangkat bersama 17 orang dari tim Basarnas Padang dan 10 relawan PMI Sumbar. Pada pukul 09.00 WIB, mereka bergerak menuju Dusun Munte, Desa Betumonga, Pagai Utara.

Dengan perlengkapan seadanya, mereka mengarungi Samudra Hindia selama dua jam perjalanan laut menuju perkampungan yang sudah rata dengan tanah itu.

“Kami bersyukur tiba di Dusun Munte pada pukul 11.00 WIB, padahal perahu yang kami tumpangi jauh melebihi kapasitas dan, jika ombak tinggi, kami dipastikan tidak akan selamat,” kata Hendri.

Tim di bawah koordinasi Basarnas Padang yang terbagi pada beberapa kelompok ditugaskan untuk menyisir Dusun Munte. Ketika Hendri memutar pandangannya ke sekeliling daerah itu, dia menduga banyak korban yang berjatuhan.

Hendri menggambarkan, kawasan itu seperti pulau yang tak pernah berpenghuni. Pasalnya, semua bangunan yang ada sebelumnya telah rata dengan tanah.

Rumah-rumah penduduk porak-poranda. Pepohonan besar bertumbangan. Rimbunan batang kelapa dan pohon sagu, bahkan karang setinggi rumah, ikut terempas hingga puluhan meter ke daratan akibat gelombang tsunami itu.

“Hanya puing-puing yang tersisa,” ujarnya lirih sembari menyebutkan, di sanalah dia bertemu dengan seorang anak berumur enam tahun yang selamat dari gulungan tsunami yang menyapu dusun itu.

Perempuan berpakaian lusuh

Dalam penelusuran, relawan di perkampungan tak berpenghuni itu menemukan sesosok perempuan paruh baya berpakaian lusuh. “Perjalanan evakuasi cukup membuat hari miris,” kata Hendri. Dia menemukan seorang ibu tengah menangisi jenazah yang diduga anaknya.

Perempuan itu, seraya meratapi mayat yang disangka anaknya itu, juga meletakkan baju, dompet, dan kain sarung di atas jasad yang telah dibungkusi kantong mayat itu.

Pemuda yang sempat mengikuti tes masuk kepolisian itu tak kuasa menatap kejadian haru saat itu. Dia hanya menghampiri wanita paruh baya tersebut dan membantunya untuk memasukkan perlengkapan-perlengkapan tadi ke dalam kantong mayat sebelum jenazah dikuburkan.

Pada bagian lain dalam penelusuran evakuasi di tanah pantai yang dihantam tsunami itu, sesosok mayat kaku ditemukan dalam posisi telentang. Kondisi ini sangat tragis. Mayat itu sulit dimasukkan ke dalam kantong. Selain telah membesar, membusuk, dan sangat kaku, posisi mayat itu juga telentang seperti menganga.

Akhirnya, terpaksa saat kepala dan bagian badan mayat telah masuk ke dalam kantong, bagian kaki yang mengangkang ditekan dengan paksa menggunakan kaki agar bisa masuk sepenuhnya ke dalam kantong.

Ia menyebutkan, sebanyak 86 mayat hari itu berhasil ditemukan dan langsung dikuburkan di perkampungan yang tak bertuan itu. Adapun puluhan warga yang selamat langsung dievakuasi tim medis PMI ke Puskesmas Sikakap guna mendapatkan perawatan.

Memasuki hari ketiga pascagempa dan tsunami, Kamis (28/10/2010) pada pukul 09.00 WIB, pemuda lajang itu bersama 16 temannya kembali bertolak dari Teluk Sikakap menuju Dusun Sabeugunggung, Desa Betumonga, sejauh satu jam perjalanan laut.

Dusun Munte dan Dusun Betumonga berada pada desa yang sama, yaitu Desa Betumonga. Namun, perlu waktu satu jam perjalanan laut menuju Dusun Sabeugunggung dari Teluk Sikakap.

Aksi kemanusiaan yang dilakukan “kesatria” di bumi Sikerei itu tentu memiliki tingkat kesulitan yang tak jauh berbeda dengan aksi di Dusun Munte.

Hendri mengatakan, sesampainya di Dusun Sabeugunggung, tim relawan bertemu dengan puluhan orang yang selamat dari terjangan tsunami. Mereka berkumpul di kaki bukit dengan kondisi cukup memprihatinkan karena ada yang mengalami luka berat dan ada yang luka ringan.

“Saya tidak jelas betul berapa jumlah mereka karena sebagian di antaranya masih berjalan-jalan menyisir daerah itu, mungkin ingin mencari saudara mereka yang belum sempat ditemukan,” katanya seraya menambahkan, di antara kumpulan warga korban tsunami itu terdapat sejumlah warga negara asing.

Warga asing itu diduga peselancar saat berlibur di perairan Munte sebelum terjadi gempa dan tsunami. Mereka dalam keadaan lebih baik dari korban luka lainnya.

Dusun Sabeugunggung sama parahnya dengan Dusun Munte. Tak ada satu bangunan pun yang berdiri, bahkan jembatan beton yang ada di sungai daerah itu hancur. Batu karang yang diperkirakan memiliki berat ratusan kilogram ikut terseret hingga puluhan meter dari bibir pantai.

Ketika itu, Hendri mengaku sulit untuk tidak menangis. Di saat dia mengangkat, menaruh mayat ke kantong jenazah hingga menguburkan jenazah korban tsunami itu, tak hentinya ia mengucurkan air mata.

Tidak terasa olehnya penat dan bau busuk yang menusuk hidung karena rasa pilu di hatinya tak kuasa dibendung ketika melihat dampak dari bencana itu.

“Ketika itu saya dan 16 teman lainnya hanya serta 15 orang dari Tim SAR, terpaksa meminta bantuan warga yang masih kuat untuk menggali tanah perkuburan,” katanya.

Belum lagi, karena kantong mayat yang tidak mencukupi, terpaksa sebagian mayat dikuburkan dengan ditutupi karung seadanya. Kondisi ini semakin membuat kepiluan ketika melihat mayat dalam kondisi hitam penuh lumpur itu tertindih pepohonan dengan kondisi bertelanjang badan.

“Air mata saya sama `deras` dengan keringat yang mengucur,” katanya dengan gemetar.

Menjelang tengah hari, mereka berhasil menemukan sekitar 40 mayat. Hingga pukul 15.00 WIB, korban meninggal ditemukan bertambah menjadi 96 jiwa.

Belajar dari pengalaman itu, sebagai seorang pemuda asli dari Negeri Sikerei, Hendri hanya berharap, semua pihak turut memberikan kepedulian bagi negerinya itu.

Sementara itu, hingga Senin malam, jumlah korban meninggal yang telah terdata akibat gempa dan tsunami pada Senin (25/10/2010) tercatat sebanyak 426 orang dan yang masih dicari 75 orang.

Jumlah korban meninggal sampai pada Senin (1/11/2010) sore sebanyak 427 orang. Adapun korban yang dinyatakan hilang 75 orang, korban yang mengalami luka berat 173 orang, luka ringan sebanyak 325 orang atau meningkat dari sebelumnya 142 orang.

Adapun rumah penduduk yang rusak berat sekitar 517 unit, dan tercatat 204 rumah rusak ringan.

Sarana pendidikan yang rusak berat sebanyak empat sekolah, satu unit rusak sedang, demikian pula dengan empat rumah dinas. Selain itu, dua resor rusak berat, yakni Resort Marcaroni dan Katei.

Sementara itu, sebuah kapal pesiar terbakar dan sebuah kapal pesiar lain rusak ringan.

Fasilitas umum yang rusak akibat gempa disusul tsunami dengan ketinggian gulungan gelombang 12 meter itu adalah jembatan sebanyak tujuh unit, termasuk jalan sepanjang delapan kilometer. (Kompas)

Satu pemikiran pada “Kisah dari Kampung Kosong di Mentawai

Berikan Saran dan Informasi anda di Situs Nababan ini ....terimakasih

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.